Cerpen : Tuhan Begitu Dekat

          Tuhan Begitu Dekat
            Karya: Kartika Candra Utami

Aku pernah merasakan hari-hari tersulit dalam hidupku. Sampai aku pernah berpikir  untuk menyudahi hidupku dengan cara singkat namun sungguh beresiko. Aku berpikir aku tidak pernah bisa menyelesaikan hal-hal konyol yang membuatku frustasi itu, untuk apa aku hidup? Toh dunia ini juga ujung-ujungnya akan kiamat. Tapi … Disinilah aku bangkit, dari hal-hal yang membuat aku jatuh, aku mulai berpikir dan mengingat akan memoar-memoar indah yang sempat terjadi di hidupku. Keluarga yang menyayangiku walaupun kadang terjadi konflik, namun tetap saja aku selalu mencintai keluargaku.

Memang, aku tahu, aku sungguh bodoh karena Tuhan ternyata begitu dekat denganku. Kenapa aku harus menjadi anak selemah ini? Inikah takdir hidupku? Oh! Aku sungguh tidak menginginkan semua ini terjadi. Bermula saat Aku terlibat selisih dengan adikku. Ya! Memang konyol karena saat itu aku masih duduk di kelas 3 SD, dan tentu adikku belum mengenyam pendidikan apapun. Dia selalu melebih-lebihkan keadaan yang terjadi disaat kami berselisih paham. Aku marah? Tentu saja! Karena orang tuaku tentu lebih menyayangi adikku dibandingkan Aku. Bayangkan saja, anak siapa yang tidak iri melihat orang tuanya pilih kasih? Tidak pernah ada! Aku hanya bisa berteriak dalam hati dan memendam semua amarah yang ada di dalam hatiku. Aku sempat memohon kepada Tuhan agar kenyataan terburuk terjadi padaku. Permohonan yang sungguh bodoh. Tapi … asal kau tahu! Tuhan mengabulkan do’aku. Dia memberiku sebuah pelajaran yang sangat berharga, yaitu ‘Sakit’. Ya, Aku pernah menderita ‘Demam Berdarah Dengue’ atau lebih dikenal dengan nama ‘DBD’. Penyakit yang hampir berhasil merenggut nyawaku ini seakan-akan tertawa dalam otakku. Ya! Tuhan memang benar-benar dekat denganku. Sampai aku meminta hal ini pun Dia tak segan-segan memberikannya secara ikhlas.

Saat-saat itu, terus terngiang di otakku. Saat paling menyedihkan ketika Aku melihat hasil dari test darah yang aku lakukan saat itu. Ternyata, Aku terjangkit ‘DBD’, padahal ketika aku berobat ke Puskesmas terdekat dari rumahku, Dokter bilang aku hanya menderita radang tenggorokan biasa. Wajahku pias seketika mendengar hasil tersebut, ditambah lagi melihat ekspresi sedih bercampur khawatir yang ditunjukkan Ibuku saat itu. Aku hanya bisa pasrah saat suster memindahkanku ke kursi roda  dan membawaku ke ruang perawatan anak-anak. Seperti mimpi bagiku, sekarang keinginanku terwujud, keinginan terbodoh yang pernah aku pinta kepada Tuhan. Jujur, aku menyesal telah meminta hal sebodoh itu kepada-Nya.

                                                     *****
Sudah 2 hari aku di rawat di ruang itu. Setelah beberapa kali tak sadarkan diri, aku bangun dan melihat tanganku sedang disuntik agar dokter bisa mengetahui keadaanku secara detail. Sebelumnya, aku juga sempat sadar dan sempat memenuhi permintaan Ibu dan Ayah untuk meminum obat tradisional aneh yang fungsinya untuk menaikkan trombosit darah itu.
Rasanya amat sangat tidak enak, rasanya lebih mirip seperti kotoran cair begitu obat tersebut melewati tenggorokanku, kalau aku tak salah ‘Angkak’ namanya. Sudahlah, aku sudah cukup muak untuk meneguk obat aneh itu. Tapi kondisiku tak kunjung membaik juga, malah kian memburuk meskipun trombosit darahku sudah naik. Wajahku sempat memucat saat dokter menyampaikan pesan kepada Ibuku dan berhasil membuat ibuku menangis. Aku pun ikut menangis seketika mendengar kabar itu.



“Bu, saya khawatir ini bukan ‘DBD’ lagi!” tutur Dokter ramah yang menyuntikku tadi.
“Lalu, apa yang akan terjadi terhadap putri saya lagi, Dok?” jawab ibuku sambil membelai rambutku.
“Kemungkinan terburuknya dia terkena ‘Flu Burung’ ” Jawab dokter itu tegang.

          Apaaaa? Tolong! Aku butuh seseorang untuk membangunkanku dari mimpi buruk ini. Aku ingin segera bangun dan mendapati kehidupan indahku kembali. Tapi, aku sadar ini bukan mimpi, INI KENYATAAN. Ibuku sempat meneteskan air mata, demikian juga aku. Ibuku membelai lembut rambutku dan kemudian menelepon Ayah yang mungkin sedang bekerja saat itu. Aku tidak tahu jelas apa yang tadi dokter dan ibuku bicarakan, karena setelah dokter menyampaikan tentang ‘Flu Burung’ itu, mereka kemudian melanjutkan pembicaraan itu di luar ruangan. Dan kini, setelah menelepon Ayahku, Ibu langsung menghampiri aku dan bilang,
“Kak, kamu dipindahin ke ruang ‘HCU’ aja ya?“
“Aku takut sendirian, Ma! Enggak usah ah!” jawabku tegas.
“Enggak kok, nanti mama, ayah dan adik akan selalu nemenin kamu!” jawabnya sedih.
Separah apa sih yang terjadi dalam diriku ini? Sampai-sampai aku harus dipindahkan ke ruang ‘HCU’ (High Care Unit) setingkat dengan ruang ‘ICU’ (Intensive Care Unit). Dengan nada getir aku menjawab, “Yaudah Ma! Aku nurut aja”.

                                                                        *****
               
Sekarang, aku telah berada di ruang ‘HCU’. Tak pernah aku bayangkan bisa berada disini, di ruangan yang menurutku menentukan hidup dan matinya seseorang yang berada di dalam ruangan tersebut. Aku telah berganti baju, menjadi baju rumah sakit yang aneh dan tidak nyaman ini. Tangan kanan dan kiriku sudah dipenuhi oleh infus, dan di dadaku telah tertempel kabel-kabel yang fungsinya merekam detak dan keadaan jantungku. Sedangkan mulutku kini telah dipakaikan oksigen. Dan di jari telunjukku terdapat satu alat yang menjepit jariku itu, entah apa namanya dan apa gunanya, aku tak tahu.

                Aku tak sadarkan diri, mungkin sudah 1 hari semenjak aku dipindahkan ke ruang ‘HCU’ itu. Lengkaplah sudah penderitaanku. Aku sempat beberapa kali merasakan pelukan dan beberapa orang yang mencium pipiku dengan hangat. Mereka adalah saudara-saudaraku, dan tentu aku sangat merasakan pelukan dari Ayah, Ibu dan Adikku. Aku dengar mereka sempat terisak ketika melihat keadaanku. Akupun terbangun dari tidur panjangku, dihadapanku telah hadir guru agamaku, Bu Atin namanya. Dia menangis dan kemudian mengajakku berdo’a kepada Tuhan untuk kesembuhanku, aku agak terbata-bata dalam melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur’an saat itu, tapi aku sangat senang, ternyata banyak yang peduli terhadap keadaanku. Apalagi Ibu dan Ayahku, mereka selalu ada ketika aku membutuhkan mereka. Kemudian, aku baru sadar bahwa mereka adalah orang-orang yang sangat tegar dan sangat menyayangiku.

                “Pagi sayang! Suster mau mandiin kamu dulu ya!”. Sapaan hangat Suster membangunkanku dari mimpi indahku semalam. Akupun lalu dimandikan oleh suster dan aku memintanya untuk memangilkan orang tuaku. Setelah selang waktu 5 menit, orang tuaku datang bersama dokter, untuk memeriksa keadaanku, aku sempat tersenyum lega saat dokter mengatakan bahwa vonis ‘Flu burung’ itu salah. Walaupun merasa lega, tetap saja aku sedih melihat kondisi tubuhku. Tanganku sudah membiru karena setiap  4 jam sekali tanganku harus disuntik untuk diambil darahnya, rambutku juga mulai rontok dan menipis. Ini sungguh kenyataan  terpahit yang harus aku terima.

                Aku kembali tak sadarkan diri, tapi kali ini berbeda aku sedang mengigau dan aku merasakan tangan dan kakiku di ikat. Ternyata aku sedang melewati masa-masa kritis dan memang benar, tangan dan kakiku betul-betul diikat, aku bisa merasakannya. Dokter-dokter sudah mengelilingiku dan ada Ibuku disampingku, tapi aku sedang di alam mimpiku sendiri, tak peduli apa yang sedang mereka lakukan di sekelilingku.

                Aku kemudian mengingat-ingat mimpi yang waktu itu sempat aku alami, seseorang memberitahuku kalau Tuhan hanya sedang mengujiku, aku tidak boleh menyerah, karena aku bisa melewati masa-masa ini. Aku tak sendirian, aku bersama keluarga yang selalu mendukungku, dia juga sempat bilang bahwa aku tidak boleh menjadi orang yang egois, yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri. Dan dia sempat meyakinkanu bahwa aku pasti akan sembuh asal aku terus berdo’a dan berusaha, oleh karena itu belakangan ini aku selalu berdo’a untuk kesembuhanku. Tapi, sekarang aku tak percaya akan omongan seseorang yang berada dalam mimpiku itu. Buktinya, aku sedang berada dalam masa yang menentukkan nyawa seseorang, masa kritis. Sakit rasanya, lebih sakit daripada di suntik, di suntik? Ya aku sudah terbiasa dengan hal itu, aku yang awalnya takut jarum, malah sudah akrab dengan benda itu.

Di masa-masa kritis ini aku bermimpi diculik oleh beberapa orang dan mereka mengikatku dan membawaku ke suatu tempat, tapi kemudian Ayahku berhasil menemukanku dan membukakan ikatan menyakitkan itu dariku. Entah apa yang terjadi selanjutnya, aku kemudian hanya memikirkan
Adikku, dimana dia? Aku sempat mendengar perkataan Ibu saat aku tak sadar, dia bilang adikku ada disini, tapi dia tak bisa masuk karena belum cukup umur, saat masih di ruang perawatan anak-anak aku sempat merasakan pelukan hangat Adikku itu. Aku sadar, aku sangat merindukannya.
Tuhan, kumohon sadarkanlah aku agar aku bisa kembali ke pelukan hangat keluargaku. Hanya itu yang aku ucapkan dalam hatiku.
Tapi, Tuhan tak mendengar do’aku, kondisiku makin parah, kenyataan terburuk pun terjadi padaku. Nadiku tak berdetak. Wow! Aku telah tiada di dunia ini, benar-benar do’a yang terkabul. Mungkin sudah tak ada harapan hidup untukku, secepat inikah aku pergi? Bahkan aku belum sempat meminta maaf khususnya kepada kedua orang tuaku, karena aku hanya bisa menyusahkan mereka. Mungkin mereka sekarang telah meratapi jasadku dan menyiapkan pemakaman untukku.


 Tapi, tahukah engkau? Nyawaku kembali bersatu dengan ragaku, nadiku berdetak lagi setelah 5 menit nadiku tak berdetak, berkat Dokter yang telah berhasil membantuku agar kembali bangun. Dibalik itu semua aku sangat bersyukur dan berterimakasih terhadap Tuhan, karena, Dia ternyata telah mendengar do’aku dan mengembalikan nyawaku secara utuh. Aku berjanji untuk tidak pernah melakukan hal-hal bodoh  semacam itu lagi.

Sekarang aku telah tersenyum lega, aku sudah dipindahkan ke ruang perawatan biasa, dengan keadaan yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Setelah 3 hari menunggu kondisiku benar-benar pulih. Akhirnya, aku akan pulang ke rumah setelah lebih dari 1 minggu aku meninggalkannya, kembali bertemu dengan keluargaku. Adikku yang hadir saat itu, turut membantuku berkemas-kemas. Walaupun aku masih sulit berjalan, tapi aku sungguh sangat senang bisa melihat kebahagiaan di dalam keluargaku. Aku dan keluargaku meninggalkan rumah sakit dan kembali pulang ke rumah, dan aku sungguh tak sabar melihat keluarga besarku di rumah, yang telah menungguku pulang.

Terima kasih Tuhan, kau telah memberi satu pelajaran berharga dihidupku, yang tak akan pernah terlupa olehku. Kau mengajariku agar aku menghargai hidupku, beruntung aku masih hidup sampai saat ini, masih bisa merasakan keakraban keluarga yang tidak semua orang dapat merasakannya. Kau telah mengabulkan do’a untuk kesembuhanku waktu itu. Terima kasih untuk semua anugerah yang telah Kau berikan kepadaku hingga kini. Aku akan selalu bersyukur dengan apa yang aku dapat hingga saat ini.

                                                                        *****

0 komentar:

Posting Komentar